Marketing Bahlul 3

Strategi Buka Kancing

Anda seorang marketer? Tentu pernah mendengar cerita para ’sales profesional’ dengan strategi jitunya dalam menjual, yaitu strategi ‘Buka Kancing’. Ketika seorang sales wanita menawarkan barang kepada nasabah, dan nasabah tidak memberi respons, maka sang sales (maaf) mulai membuka kancing baju atas, kemudian meneruskan presentasi produknya. Demikian seterusnya sampai pada kancing yang terakhir dibuka, pasti barang tadi sudah terbeli. Praktis, kan?
Strategi ”buka kancing” ini dulu banyak dikenal di dunia asuransi, terutama pada tahun 80-an. Sekarang sudah jarang. Cara itu sudah ketinggalan zaman, kata seorang kawan saya. Sekarang sudah lebih ‘modern’ lagi. Dalam dunia sales sekarang, katanya, apalagi di bidang otomotif, properti, dan sekuritas, sudah lebih canggih. Bukan lagi strategi ”buka kancing”, tapi strategi “pasrah”, selanjutnya “terserah mas”. Ini adalah jalan pintas yang sering dipakai para sales untuk bisa mengejar target dan tentu memperoleh komisi yang tinggi secara cepat.
Kalau dalam dunia asuransi penghasilan 20—30 juta per bulan adalah hal biasa, maka dalam dunia sekuritas penghasilan 50—100 juta juga menjadi hal yang biasa. Seorang sales yang relatif masih baru, sedikit agak cantik dan seksi, dengan strategi “pasrah” tadi, strategi jalan pintas, penghasilan sebesar itu lewat deh, kata seorang kawan, direktur pada salah satu sekuritas. Pokoknya, modalnya cuma “bandel” dan “pasrah”, katanya.
Karena itu, Anda jangan heran jika seorang sales yang ”profesional” seperti ini hanya dalam waktu singkat sudah bisa punya rumah, apartemen, mobil, dan dengan penampilan branded. Setiap malam keluar masuk kafe, bar, karaoke, hotel-hotel berbintang, dan berlibur di luar negeri sudah menjadi hal biasa.
Ada lagi cerita lain. Suatu ketika saya ketemu teman, bekas teman kuliah. Dia kaget ketika tau saya menjadi direktur marketing sebuah perusahaan asuransi (beberapa tahun yang lalu ketika saya masih di industri asuransi). Sambil bercanda dia tanya, “Eh, you tau bedanya marketing laki-laki dengan marketing wanita?” Tentu yang dimaksud di sini adalah tenaga sales laki dan sales wanita.
Saya jawab, “sales laki-laki pakai dasi dan yang wanita pakai rok.”
Kawan ini tertawa, kemudian menjawab, “Mas, kalau sales laki-laki itu telapak kakinya yang tebal karena banyak jalan mencari nasabah, sedangkan sales wanita punggungnya yang tebal karena banyak ’melayani’ nasabah.”
 Kawan ini kembali ketawa terbahak-bahak. Tapi, saya cuma respons dengan senyum tipis.
Saya bilang, “Maaf, saya marketing syariah, Mas.”  
“Marketing syariah? Apaan tuh? Marketing ‘Syoriah’, kali.”
Cerita di atas tentu membuat geram para marketer yang masih memiliki nilai-nilai moral, karena baik nilai-nilai yang bersifat universal, apalagi nilai-nilai agama, apa pun agamanya, tidak membenarkan cara-cara penjualan seperti ini. Saya telah menulis sebuah buku berjudul ”Syariah Marketing”. Buku ini saya tulis bersama sahabat saya, pakar marketing dunia, Hermawan Kartajaya, President World Marketing Association (WMA). Dalam buku tersebut saya jelaskan ada empat karakteristik marketing syariah, yaitu teistik (rabbaniyah), etik (akhlaqiyah), realistik (waqi’iyah), dan humanistik (insaniyah).
 Secara singkat saya jelaskan karakteristik marketing syariah tersebut satu per satu.
 Pertama, Teistik (rabbaniyah); artinya seorang marketer syariah harus senantiasa membentengi dirinya dengan nilai-nilai spiritual, karena lingkungan pemasaran memang selalu ‘akrab’ dengan suap (risywah), wanita (maksiat), korupsi, minuman keras, dan perjudian. Karena itu, marketer syariah perlu ketahanan moral. Dia harus senantiasa mendekatkan diri kepada Allah. Dia harus selalu mengingat masa depan istri dan anaknya. Dia pun harus meyakini jikalau seluruh gerak-geriknya senantiasa diawasi oleh Sang Khaliq. Allah berfirman, ”Barangsiapa yang melakukan sesuatu kebaikan sebesar biji atom sekalipun, maka dia akan melihatnya. Dan barangsiapa yang melakukan sesuatu kejahatan sebesar atom sekalipun, maka dia akan melihatnya pula.
 Kedua, Etik (akhlaqiyah); artinya mengedepankan masalah akhlak, etika, dan moral menjadi sangat penting bagi para marketer dan pelaku bisnis. Kalau saja dalam diri pelaku bisnis dan para profesional terdapat nilai-nilai moral, kejujuran dan transparansi maka kasus Enron, Worlcom, Global Crossing di tingkat dunia yang menghebohkan beberapa tahun yang lalu, tidak akan terjadi.
Begitu juga dengan krisis di Amerika terakhir ini yang menyebabkan tumbang dan bankrupt nya sejumlah perusahaan terbesar di Amerika seperti: Lehman Brothers, Merrill Lynch, Washington Mutual, dan AIG, bahkan berdampak pada krisis keuangan global, semuanya disebabkan karena sikap para professional yang congkak, tamak dan rakus. Sikap yang menghalalkan segala cara dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya, dengan mengabaikan nilai-nilai moral dan etika serta prinsip-prinsip keadilan. Konsep kapitalis yang seperti inilah, yang tidak dilandasi oleh fondasi moral yang benar, yang mengabaikan prinsip-prinsip keadilan, yang menghalalkan segala cara, serta tidak didasarkan pada realitas bisnis yang sebenarnya (real business), yang nilainya hanya di atas kertas, digelembungkan dengan berbagai macam derivatif. Konsep kapitalis yang seperti inilah  yang dikoreksi oleh sistem ekonomi syariah. Karena itu, konsep ekonomi syariah hanya mengenal ”economy 1 on 1”, artinya 1 monetary unit represent 1 real asset. Dengan konsep seperti ini maka tidak akan terjadi krisis keuangan global seperti sekarang ini.
Kasus penyimpangan dana BLBI oleh para konglomerat, skandal suap di kejaksaan, kasus Bank Mandiri, Jamsostek, DAU Depag, KPU, MA, KY, BPN, BI, dan Bulog. Selanjutnya kasus beberapa Menteri, Gubernur, Bupati, DPRD, serta sejumlah kasus yang sangat menghebohkan dari kalangan DPR, dan masih banyak lagi kasus-kasus besar di Indonesia, semua ini terjadi karena sudah hilangnya nilai-nilai moral dan etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Anda bisa membayangkan seorang yang demikian terhormat, diagung-agungkan, dan sebelumnya memiliki wibawa yang luar biasa besar di mata bawahan, tiba-tiba menjadi pesakitan sebagai terdakwa. Di sini hati nurani kita menjerit ke mana gerangan nilai-nilai moral itu.
Ketiga, Realistik (waqi’iyah); artinya seorang marketer tentu harus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Bisa bergaul secara fleksibel dengan siapa saja, tetapi tetap memelihara norma-norma ketimuran. Norma orang-orang yang memiliki agama, bukan bebas semau-maunya dan menghalalkan segala cara. Marketer syariah tidak harus eksklusif. Dia harus bisa bersikap tengah-tengah (wasathan), sebagaimana diajarkan dalam syariah. Tidak harus bersifat ekstrem (ghuluw), tapi tidak pula harus terlalu longgar dan kebarat-baratan. Dalam hal fashion, misalnya, tidak mesti dengan pakaian yang memperlihatkan (maaf) pantat dan pusar supaya dibilang mengikuti lifestyle.
Syariah marketer adalah para pemasar profesional dengan penampilan yang bersih, rapi, dan bersahaja, apa pun model dan gaya pakaian yang dikenakannya dalam batas-batas kesopanan. Mereka mengedepankan nilai-nilai religius, kesalehan, dan kejujuran dalam segala aktivitas pemasarannya. Ia juga tidak kaku dan tidak eksklusif, tetapi sangat fleksibel dan luwes dalam bersikap dan bergaul.
Ia sangat memahami bahwa situasi pergaulan di lingkungan yang sangat heterogen, dengan beragam suku, agama, dan ras, adalah ajaran yang diberikan oleh Allah Swt. dan dicontohkan oleh Nabi untuk bisa bersikap lebih bersahabat, santun, dan simpatik terhadap saudara-saudaranya dari umat lain.  
Keempat, Humanistik (insaniyah); pengertian humanistis yang dalam bahasa arab disebut al-insaniyah bahwa syariah diciptakan untuk manusia agar derajatnya terangkat, sifat-sifat kemanusiaannya terjaga dan terpelihara, serta sifat-sifat kehewanannya dapat terkekang dengan panduan syariah. Manusia humanistis memiliki nilai-nilai artistik dan manusiawi. Ia menjadi manusia yang terkontrol, seimbang (tawaazun), bukan manusia yang serakah, yang menghalalkan segala cara untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya. Bukan juga manusia yang bisa bahagia di atas penderitaan orang lain, atau manusia yang hatinya kering dari kepedulian sosial.

0 komentar:

Post a Comment

ITJ