Informasi Islam

Informasi Islam, ekonomi Islam

Islamic Economic

Islamic Bussines

IMAN, HIJRAH DAN JIHAD

IMAN, HIJRAH DAN JIHAD
BEBERAPA RAHASIA YANG BERKAITAN DENGAN BAHASA

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 2:218).



Pada ayat sebelumnya kita telah sama-sama mentadaburi firman Allah yang berkaitan dengan jihad fi sabililah. Pada ayat ini Allah SWT akan menerangkan lebih jauh tentang orang-orang yang malaksanakan jihad tersebut, dan pahala yang mereka raih ketika mereka melaksanakan jihad di jalan Allah SWT. Ada beberapa hal yang berkaitan dengan mabaa’its lughowiyyah (pembahasan-pembahasan bahasa) yang perlu kita ketahui dalam rangka mengantarkan kita untuk memahami ayat ini dengan baik.

Pertama, tentang lafadz hijrah. Allah pada ayat ini mengatakan walladziina haajaru (dan mereka yang berhijrah). Yang dimaksud hijrah di sini adalah alladziina khoroju mim Makkata ilal Madinah kirooma liddiinihim (orang yang hijrah adalah orang yang keluar dari Mekah menuju Madinah, dalam rangka agamanya). Dari pengertian hijrah ini bisa kita pahami bahwa orang yang pindah dari suatu tempat ke tempat yang lain bukan dalam rangka Islam, tidak bisa disebut sebagai hijrah. Perpindahan ke tempat lain hanya sekedar untuk mencari nafkah, tidak termasuk yang dimaksudkan dalam ayat ini. Jadi hijrah yang maksudnya adalah meninggalkan suatu tempat menuju tempat yang lain semata-mata untuk mempertahankan dinnya, untuk mempertahankan agamanya.



Sebagaimana kita ketahui al-hijrah wal jihad, adalah minal mustholahat Qur’aniyyah (termasuk terminologi Al-Qur’an). Oleh karena itu pengertiannya harus dikembalikan pada Al-Qur’an itu sendiri. Jangan sampai mustholahatul Qur’aniyyah (terminologi Al-Qur’an) dipahami dengan pemahaman pribadi, sehingga istilah-istilah Al-Qur’an tersebut menjadi mentah dan tidak jelas, dan bahkan tidak sinkron lagi dengan yang dimaksudkan Al-Qur’an tersebut. Seperti kita ketahui, min asbaabi inhirofat (diantara sebab-sebab penyimpangan dalam memahami Islam) adalah karena adanya orang yang memahami istilah-istilah Al-Qur’an dengan pemahamannya sendiri, seperti memahami terminologi Al-Qur’an dengan pendekatan filsafat, atau dengan pendekatan ilmu kalam, dan lain sebagainya. Jadi perlu ditegaskan bahwa al-hijrotu wal jihadu adalah minal mushtholahat Al-Qur’aniyyah (termasuk istilah-istilah Al-Qur’an) yang pemahamannya harus dikembalikan kepada Al-Qur’an itu sendiri.

Kedua, pada ayat ini disebut istilah haajaru (‘ha’-nya panjang), bukan hajaru (ha’-nya pendek). Dalam bahasa Arab, waazan haajaru atau faa’ala itu mempunyai pemahaman al-musyaarokat bainatsnaini (adanya dua pihak yang saling terlibat dalam perbuatan tersebut). Jadi kalau ada kata-kata dhooruba misalnya, berarti saling memukul, bukan yang satu memukul dan yang lain tidak. Begitu juga ketika dipergunakan istilah haajaru, seharusnya pengertiannya adalah saling meninggalkan. Artinya dalam hal ini orang kafir juga seharusnya pergi meninggalkan Mekah. Kenapa dipergunakan kata-kata haajaru (ha’-nya panjang karena ditambah alif), tidak hajaru (tanpa alif), padahal kenyataannya orang kafir tidak meninggalkan Mekah ? Sebabnya adalah :

Pertama, karena hijrahnya kaum Muslimin dari Mekah itu terjadi karena adanya al-’adaawah (permusuhan) dari orang kafir kepada kaum muslimin. Jadi secara tidak langsung orang akfir tersebut memang terlibat dalam peristiwa hijrah tersebut. Artinya memang terjadi adanya musyarokat bainatsnaini (adanya keterlibatan kedua belah pihak dalam proses hijrah ini), sekalipun orang kafir sendiri tidak ikut meninggalkan Mekah sebagaimana halnya yang dilakukan oleh kaum muslimin.

Kedua, waazan mufaa’alah ini, tidak selamanya berarti musyarokat bainasnaini, akan tetapi bisa juga berarti lil mubaalaghoh (untuk menyangatkan sesuatu). Artinya, dalam peristiwa hijrah ini, ketika orang-orang Islam meninggalkan Mekah menuju Madinah, ini pada dasarnya adalah sebuah perbuatan yang sangat berat (mubaalaghoh). Jadi hijrah di sini tidak sekedar meninggalkan tempat menuju ke tempat lain saja, tetapi meninggalkan dalam arti yang sebenar-benarnya, meninggalkan dalam arti yang seberat-beratnya. Meninggalkan kota, meninggalkan tempat kelahiran, meninggalkan tempat kerja, meninggalkan keluarga dan meninggalkan yang lainnya.

Salah satu contoh nyata adalah peristiwa yang dialami oleh Suhaib Ar-Rumi. Suhaib Ar-Rumi ini bukanhaajaru (dengan alif yang berarti ha’ dibaca panjang), bukan hajaru (tanpa alif). Ini karena di dalam lafadz haajaru ini terdapat fii ma’nal mubaalaghoh (terdapat ma’na yang menyangatkan). Jadi hijrah itu bukan suatu peristiwa biasa yang hanya sekedar pindah dari satu tepat ke tempat yang lain saja, akan tetapi hijrah adalah suatu peristiwa yang hanya bisa dilakukan dengan segala kesungguhan hati.

IMAN, HIJRAH DAN JIHAD
penduduk asli Mekah, tetapi berasal dari Romawi. Beliau datang ke Mekah untuk mengembangkan dunia ekonominya sampai akhirnya menjadi orang kaya di Mekah. Begitu menjadi orang kaya, datanglah kewajiban berhijrah yang berarti harus meninggalkan sekian banyak harta kekayaannya, yang dibangun mulai dari nol. Jadi hijrah yang dilakukannya tersebut bukanlah suatu hal yang mudah, tetapi sangat berat dan penuh pengorbanan. Dan untuk menggambarkannya dipergunakan lafadz

Jangankan melakukan hijrah, untuk bisa melakukan ibadah haji saja sangat berat dan memerlukan kesungguhan. Orang yang berangkat melaksanakan ibadah haji itu rumahnya masih ada, harta bendanya masih ada, keluarganya juga masih utuh, dan insyaAllah juga akan kembali lagi ke tempat asalnya. Namun walaupun demikian orang yang melaksanakan ibadah haji itu ketika berangkat perasaannya sangat berat seperti tidak akan pernah kembali lagi. Kadang-kadang ketika berangkat ada yang menangis dan sebagainya. Berat rasanya untuk meninggalkan semuanya. Padahal perginya orang yang beribadah haji hanya 30 hari atau 35 hari saja. Namun itu saja terasa berat. Apalagi ketika harus melakukan hijrah, yang mungkin tidak akan kembali lagi ke Mekah, dan harus meninggalkan semua hal yang ada di tempat asalnya. Tentu sangat berat dan diperlukan kesungguhan dan keimanan yang tinggi. Makanya untuk menggambarkannya dipergunakan ta’bir adalah haajaru.

Yang berkaitan dengan masalah balaghoh yang ketiga, adalah lafadz wajaahadu. Al-jahdu secara bahasa berarti adalah badlul jughni (bersungguh-sungguh). Tetapi sekali lagi, al-jihad adalah minal mushtholahatul Qur’aniyyah (jihad itu termasuk istilah Al-Qur’an, termasuk terminologi Al-Qur’an). Berarti, untuk memahaminya juga harus sebagaimana yang dipahamkan Al-Qur’an. Jangan memahaminya dengan semau kita sendiri. Banyak orang memahami jihad ini hanya dari segi bahasa (lughowi), yang artinya ‘sungguh-sungguh’, sehingga ada orang yang menganggap bahwa apa saja yang dilakukan dengan sungguh-sungguh, berarti jihad. Ada yang memahami bahwa seorang pegawai negeri yang rajin kerjanya adalah seorang mujahid. Tukang becak yang bekerja keras untuk mendapatkan, adalah seorang mujahid. Jadi mereka memahami jihad dengan pemahaman yang rendah, sehingga malah merendahkan dan menjatuhkan pemahaman jihad yang dimaksudkan dalam Islam.

Dan yang dipahami dengan pemahaman-pemahaman seperti ini seringkali bukan hanya istilah jihad saja. Kalau kita perhatikan dalam masyarakat kita, ada beberapa istilah Islam yang dipergunakan secara tidak tepat, sehingga malah menjadikan rancu apa pemahaman yang sebenarnya dari istilah Islam tersebut. Di masyarakat kita sekarang ada istilah-istilah Islam yang dipahami dengan pengertian yang sangat murahan. Suatu kota ini dijuluki kota iman, kota ikhlas dan istilah-istilah lainnya. Kalau kita melihat misalnya ada sebuah kota yang dijuluki kota iman, apa maksud kata ‘iman’ di sana ? Itu hanyalah sebuah singkatan yang sama sekali tidak berhubungan dengan ‘iman’ seperti yang dimaksudkan dalam al-Qur’an. Penggunaan istilah seperti ini sangat merendahkan istilah ’iman’ yang dimaksudkan dalam Islam.

Al-Iman kalimatul ‘adhiimah (iman adalah kalimat yang sangat besar) dalam terminologi Islam. Iman adalah suatu ni’mat yang paling besar dalam kehidupan manusia, bahkan lebih besar daripada ni’matul wujuud, lebih besar daripada ni’mat kehidupan di dunia itu sendiri. Ketika di mobil-mobil di tulis ‘iman’, ketika ada orang yang membaca kata-kata tersebut seolah-olah tidak ada ma’nanya apa-apanya, dan seolah-olah kata tersebut hanyalah istilah biasa-biasa saja. Padahal mushtholahul Qur’aniyyah adalah mushtholah yang suci dan sakral, yang untuk memahaminya harus kembali kepada apa yang dimaksudkan dalam Islam dan dalam Al-Qur’an. Jadi jangan sampai istilah-istilah Al-Qur’an tersebut dipakai untuk hal-hal yang salah sehingga kesannya malah seperti istilah yang murahan.

Al-hijrah wal jihad adalah minal mushtholahatul Qur’an, yang berarti kalau kita memahaminya haruslah sebagaimana yang dimaksudkan Al-Qur’an, kitab yang diagungkan Allah SWT.

Dalam ayat ini Al-Qur’an mengatakan jaahadu (dengan tambahan alif setelah huruf jim), Allah tidak mengatakan jahadu (tanpa alif). Tambahan huruf alif di sini mengandung ma’na lil mubalaghoh (untuk menyangatkan). Ini menunjukkan bahwa jihad adalah sesuatu yang sangat besar dan berat bagi ummat manusia. Kalau ummat Islam tidak bersungguh-sungguh dalam melaksanakan Islam, dan tidak masuk Islam secara kaaffah, mustahil ia bisa melaksanakan jihad dengan benar. Bayangan yang ada di belakang jihad bagi mereka yang Islamnya belum mantap adalah bahwa jika melaksanakan jihad akan sakit, atau tertembak atau bahkan terbunuh sehingga meninggalkan dunia. Itulah bayangan-bayangan manusia yang tidak memahami Islam dengan benar, bayangan manusia yang tidak memahami jihad dengan benar.

Keempat, yang perlu kita pahami dari segi bahasa, kenapa dalam ayat ini Allah lafadz alladzi dua kali, yaitu ketika mengatakan innalladziina aamanu, kemudian disambung dengan walladziina haajaru ? Kenapa tidak langsung saja dikatakan innalladziina aamanu wahaajaru wajaahadu. Kenapa ada alladziina-nya semua ? Padahal dalam bahasa Indonesia, diberi alladziina berulangkali atau sekali saja artinya sama saja. Apa fungsi alladziina yang kedua pada ayat ini ? Dalam Al-Qur’anul Kariim, tidak ada sesuatu yang tidak ada gunanya. Setiap penggunaan kalimat dalam Al-Qur’an itu pasti ada tujuannya. 

Digunakannya alladziina yang kedua yaitu pada walladzina haajaru ini menunjukkan bahwa hijrah dan jihad ini adalah dua perkara yang mempunyai istiqlaliyyah (kemerdekaan, kemandirian, kebebasan) secara sendiri-sendiri. Jadi masing-masing mempunyai eksistensi tersendiri bahwa kedua-duanya bisa mendatangkan rohmat Allah dan ar-roja’ (harapan) kepada Allah SWT. Jadi seolah-olah dengan iman bisa mendapatkan rohmat Allah dan ar-roja’ sendiri, hijrah dan jihad juga mendapatkan rohmat Allah dan ar-roja’ sendiri. Makanya kedua-duanya diberi lafadz alladziina. Tetapi kalau disebut alladziina aamanu wa haajaru wa jaahadu, maka ma’na yang terkandung di dalamnya akan berbeda. Kalau dikatakan demikian, berarti iman, hijrah dan jihad itu merupakan satu kesatuan.

Tetapi ketika dikatakan haajaru wa jaahadu ini masing-masing didahului kalimat alladziina, ini menunjukkan kedudukan li ahammiyyati hadzaini lil aqroini (menunjukkan urgensi daripada jihad dan hijrah). Seolah-olah dua perkara ini adalah sesuatu yang berdiri sendiri-sendiri, karena sangat pentingnya masing-masing. Seolah-olah demikian, padahal jihad dan hijrah sebenarnya juga merupakan satu kesatuan dengan iman. Artinya konsekuensi logis daripada keimanan adalah kita harus siap berhijrah dan berjihad di jalan Allah SWT.



Sumber : kajian Tafsir Ust. Ahzami Sami'un Jazuli

Memilih Istri yang Tepat

Memilih Istri yang Tepat 


     Allah berfirman: "Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (kawin) dan hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karuniaNya. Dan AllahMaha Luas (karuniaNya) lagi Maha Mengetahui." (An-Nur: 32). 

Hendaknya seseorang memilih isteri shalihah dengan syarat-syarat sebagai berikut: "Wania itu dinikahi karena empat hal: hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya. Maka hendaknya engkau utamakan wanita yang memiliki agama. Hadits riwayat Al-Bukhari, lihat Fathul Bari, 9/132. 

"Dunia semuanya adalah kesenangan, dan sebaik-baik kesenangan dunia adalah wanita shalihah''. Hadits riwayat Muslim (1468), cet. Abdul Baqi; dan riwayat An-Nasa'i dari Ibnu Amr, Shahihul Jami', hadits no.3407 

"Hendaklah salah seorang dari kamu memiliki hati yang bersyukur, lisan yang selalu dzikir dan isteri beriman yang menolongnya dalam persoalan akhirat". Hadits riwayat Ahmad (5/282), At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Tsauban, Shahihul Jami', hadits no. 5231 Dalam riwayat lain disebutkan : "Dan isteri shalihah yang menolongmu atas persoalan dunia dan agamamu adalah sebaik-baik (harta) yang disimpan manusia". Hadits riwayat Al-Baihaqi dalam Asy-Syu'ab dari Abu Umamah. Lihat Shahihul Jami', hadits no. 4285 

"Kawinilah perempuan yang penuh cinta dan yang subur peranakannya. Sesungguhnya aku membanggakan dengan banyaknya jumlah kalian di antara para nabi pada hari Kiamat." Hadits riwayat Imam Ahmad (3/245), dari Anas. Dikatakan dalam Irwa 'ul Ghalil, "Hadits ini shahih", 6/195 "(Nikahilah) gadis-gadis, sesungguhnya mereka lebih banyak keturunannya, lebih manis tutur katanya dan lebih menerima dengan sedikit (qana'ah)". Hadits riwayat lbnu Majah, No. 1861 dan alam As-Silsilah Ash-Shahihah, hadits No. 623 Dalam riwayat lain disebutkan : "Lebih sedikit tipu dayanya".

Sebagaimana wanita shalihah adalah salah satu dari empat sebab kebahagiaan maka sebaliknya wanita yang tidak shalihah adalah salah satu dari empat penyebab sengsara. Seperti tersebut dalam hadits shahih: "Dan di antara kebahagiaan adalah wanita shalihah, engkau memandangnya lalu engkau kagum dengannya, dan engkau pergi daripadanya tetapi engkau merasa aman dengan dirinya dan hartamu
Dan di antara kesengsaraan adalah wanita yang apabila engkau memandangnya engkau merasa enggan, lalu dia mengungkapkan kata-kata kotor kepadamu, dan jika engkau pergi daripadanya engkau tidak merasa aman atas dirinya dan hartamu" Hadits riwayat Ibnu Hibban dan lainnya, dalam As-Silsilah Ash- Shahihah, hadits no. 282 

    Sebaliknya, perlu memperhatikan dengan seksama keadaan orang yang meminang wanita muslimah tersebut, baru mengabulkannya setelah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : "Jika datang kepadamu seseorang yang engkau rela terhadap akhlak dan agamanya maka nikahkanlah, jika tidak kamu lakukan niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar". Hadits riwayat Ibnu Majah 1967, dalam As-Silsilah Ash-Shahihah, hadits no. 1022 

    Hal-hal di atas perlu dilakukan dengan misalnya bertanya, melakukan penelitian, mencari informasi dan sumber-sumber berita terpercaya agar tidak merusak dan menghancurkan rumah tangga yang bersangkutan." Laki-laki shalih dengan wanita shalihah akan mampu membangun rumah tangga yang baik, sebab negeri yang baik akan keluar tanamannya dengan izin Tuhannya, sedang negeri yang buruk tidak akan keluar tanaman daripadanya kecuali dengan susah payah. 

Upaya Membentuk (Memperbaiki) Isteri

    Apabila isteri adalah wanita shalihah maka inilah kenikmatan serta anugerah besar dari Allah Ta'ala. Jika tidak demikian, maka kewajiban kepala rumah tangga adalah mengupayakan perbaikan. Hal itu bisa terjadi karena beberapa keadaan. Misalnya, sejak semula ia memang menikah dengan wanita yang sama sekali tidak memiliki agama, karena laki-laki tersebut dulunya, memang tidak memperdulikan persoalan agama. Atau ia menikahi wanita tersebut dengan harapan kelak ia bisa memperbaikinya, atau karena tekanan keluarganya. Dalam keadaan seperti ini ia harus benar-benar berusaha sepenuhnya sehingga bisa melakukan perbaikan. 

    Suami juga harus memahami dan menghayati benar, bahwa persoalan hidayah (petunjuk) adalah hak Allah. Allah-lah yang memperbaiki. Dan di antara karunia Allah atas hambaNya Zakaria adalah sebagaimana difirmankan: "Dan Kami perbaiki isterinya". (Al-Anbiya': 90). Perbaikan itu baik berupa perbaikan fisik maupun agama. Ibnu Abbas berkata: "Dahulunya, isteri Nabi Zakaria adalah mandul, tidak bisa melahirkan maka Allah menjadikannya bisa melahirkan". 

Atha' berkata: Sebelumnya, ia adalah panjang lidah, kemudian Allah memperbaikinya". Beberapa Metode Memperbaiki Isteri: Memperhatikan dan meluruskan berbagai macam ibadahnya kepada Allah Ta'ala. Kupasan dalam masalah ini ada dalam pembahasan berikutnya. Upaya meningkatkan keimanannya, misalnya:

Menganjurkannya bangun malam untuk shalat tahajjud
Membaca Al Qur'anul Karim.
Menghafalkan dzikir dan do'a pada waktu dan kesempatan tertentu.
Menganjurkannya melakukan banyak sedekah.
Membaca buku-buku Islami yang bermanfaat.
Mendengar rekaman kaset yang bermanfaat, baik dalam soal keimanan maupun ilmiah dan terus          mengupayakan tambahan koleksi kaset yang sejenis.
Memilihkan teman-teman wanita shalihah baginya sehingga bisa menjalin ukhuwah yang kuat, saling bertukar pikiran dalam masalah-masalah agama serta saling mengunjungi untuk tujuan yang baik.

subhanallaaahhhh.... semogaaa... ^_^ 

ITJ