Percaya Diri

MENGGALI HASRAT SEJATI

Self Confident

Jurus pertama yang saya tawarkan di sini adalah menggali hasrat sejati yang ada di dalam diri kita. Kalau merujuk pada petunjuk Al‐Qur’an, munculnya hasrat sejati itu merupakan tanda‐tanda yang oleh Tuhan diperintahkan untuk diperhatikan.

ʺDan di dalam dirimu apakah kamu tidak melihatnyaʺ 
(al‐Qoshosh: 72; al‐Zuhruf: 51, al‐Dzaariyat: 21).

Sejak kecil Thomas Alva Edison memang suka bermain‐main dengan hal baru (bereksperimentasi). Ia pernah mengerami telor. Pernah juga bermain‐main dengan bahan kimia di kereta api ketika dirinya menjadi pedagang asongan. Entah bagaimana kisahnya, bahan kimia itu tumpah sampai hampir membuat gerbong terbakar. Sang kondektur menempeleng Edison mengenai telinganya sampai rusak. Dasar Edison, tempelengan sama sekali tak menghentikan niatnya untuk selalu bereksperimentasi.

 Bahkan kegagalan demi kegagalan selama proses eksperimentasi itu, tak pernah ia anggap sebagai alasan untuk berhenti atau putus asa. Suatu hari ada yang bertanya kepadanya: “Anda sudah gagal bereksperimentasi sebanyak sembilan ribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan kali. Apakah Anda akan menggenapkan kegagalan Anda menjadi sepuluh ribu kali?” Apa jawabnya: “I have not failed. I have just found 10.000 ways that will not work”. Bukan kegagalan tetapi cara lain yang saya temukan dan kebetulan belum bekerja. “Saya tidak berkecil hati sebab setiap kegagalan adalah bentuk lain dari langkah maju.”

Ketika meninggal pada usia 84 tahun, Edison tercatat sebagai penemu terbesar dunia dengan 3000 temuan dari mulai lampu listrik, sistem distribusi listrik, lokomotif listrik, stasiun tenaga listrik, mikrofon, kinetoskop (proyektor film), laboratori‐um riset untuk industri, fonograf (berkembang jadi tape‐recorder), kinetograf (kamera film) sampai ke baterai.

Di buku Refleksi Kehidupan – Kisah & Kajian Orang Ternama (Elex Media Komputindo, 2005), saya menulis perjalanan Iwan Fals, sosok yang pernah mendapat gelar Pahlawan Asia dari majalah Times tahun 2002 karena karya‐karyanya di bidang musik. Bagaimana Iwan meniti karirnya di musik? Sejak usia 13 tahun yang berarti ketika Iwan masih duduk di bangku SMP, ia sudah berlatih musik dari mulai dengan cara ngamen di sejumlah acara sosial, kawinan dan sunatan sampai ke mencoba menciptakan lagu sendiri yang konon sempat pernah diudarakan di Radion 8 EH di Bandung tapi kemudian dibredel.

“Dari kecil aku bercita‐cita jadi tentara. Untuk memperjuangkan cita‐citaku itu, aku menekuni olahraga. Aku aktif di bidang beladiri, silat, karate, kung fu, juga jenis olahraga yang lain, seperti sepakbola, basket, dan volly. Di bidang olahraga aku sempat berprestasi. Tapi ternyata musik lebih menarik‐narik. Musik aku rasakan lebih menggelitik. Olahraga aku ambil untuk kesehatan saja. Filosofi menang‐kalah aku hilangkan. Kalau terjun di dunia olahraga, di sana selalu saja ada yang menang atau kalah. Sementara, aku kan lembut.”

Dari cuplikan dua cerita di atas, saya ingin mengatakan tiga hal di sini:

Pertama, di dalam diri setiap orang sudah diciptakan oleh Tuhan sebuah dorongan atau keinginan atau hasrat yang terus menarik‐narik kita, terus menggoda kita, terus mendorong kita, seperti halnya yang dialami Iwan Fals yang terus ingin terjun berlatih musik. Keinginan semacam inilah yang saya maksudkan dengan istilah hasrat sejati itu. Hasrat sejati berbeda dengan keinginan yang kita ucapkan dengan mulut. Hasrat sejati adalah istilah yang menjelaskan adanya keinginan atau dorongan yang benar‐benar kuat yang tumbuh dari benak kita, entah karena faktor keturunan atau karena yang lain. Biasanya hasrat itu tercermin melalui keinginan kita untuk menjadi sosok tertentu, seperti musikus, profesional, pengusaha, tokoh masyarakat, dan lain‐lain dan seterusnya yang tidak mungkin didetailkan satu persatu.

“Setiap orang memiliki api yang membara di dadanya. Tujuan hiduplah yang membuatnya bisa menemukan api itu dan menjaganya agar tetap membara.” 
(Mary Lou Retton)

Tugas kita di sini adalah menemukan keinginan yang benar‐benar kuat untuk melakukan sesuatu demi tercapainya sosok yang kita inginkan dari diri kita. Tentu saja ini yang positif dan mengarah pada keahlian tertentu atau sesuatu yang akan menjadi jalan untuk menunjukkan siapa diri kita. Ini tidak termasuk misalnya hobi makan bakso dan lain‐lain karena tidak mengarah pada keahlian tertentu dan tidak bisa membedakan kita dengan orang lain secara keahlian.

Kedua, keinginan itu biasanya tidak pernah tunggal. Seperti dalam kasus Iwan Fals, ada keinginan untuk menjadi tentara, ada keinginan untuk menjadi atlet, ada keinginan untuk menjadi musikus, dan mungkin masih banyak lagi keinginan‐keinginan yang tak terjabarkan. Lalu bagaimana menentukan? Ini tidak ada kaidahnya. Tuhan memberikan kebebasan yang tak terbatas kepada kita. Di sini tugas kita adalah memilih yang paling memungkinkan, yang paling mudah rasanya, yang paling dapat kita lakukan. Atau juga, tugas kita adalah menentukan mana yang primer dan mana yang sekunder. Bisa saja kita memilih banyak hal tetapi masalah yang sering muncul adalah, mampukah kita? Selama kita mampu, tidak ada masalah. Tetapi kalau tidak, di sinilah masalah akan muncul.

Ketiga, keinginan itu butuh perawatan dan manajemen. Seperti yang sudah saya tulis dalam Prolog di muka, hasrat sejati ini bukan benda jadi yang tinggal menikmati, tetapi sebuah potensi besar atau tambang emas di dalam diri kita. Karena itu, ia tidak berguna dengan sendirinya. Hasrat sejati akan berguna bagi kita kalau kita gunakan. Menurut Hukum Tuhan‐nya, Iwan Fals tidak akan menjadi musikus besar dengan hanya bermodalkan bakat alamiyah semata. Ia menjadi musikus besar karena ia punya bakat alamiyah dan bakat itu dikembangkan dengan berbagai resiko yang menyertainya: terkadang enak, terkadang tidak enak, terkandang lancar, terkandang tersendat‐sendat.

“Kesuksesan saya karena ada bakat, kerja keras dan keberuntungan” 
(Kareem Abdul Jabbar)

Poin ketiga inilah yang bisa menjelaskan adanya fenomena kehidupan di mana banyak orang berbakat yang tidak bisa hidup dengan bakatnya. Saya kira bukan hal yang aneh kalau ada orang yang bersuara bagus tetapi tidak menjadi penyanyi. Ada orang yang gemar bergaul tetapi tidak menjadi pengusaha. Ada orang yang gemar merenung tetapi tidak menjadi sastrawan, penulis, atau seniman. Ada orang yang suka meng‐otak‐atik elektronik tetapi tidak menjadi perancang tehnologi. Ada orang yang suka berolahraga tetapi tidak menjadi atlit. Dan lain‐lain dan seterusnya.

“Dan bahwasanya seorang itu tiada memperoleh selain apa yang sudah diusahakannya. Dan bahwasannya usaha itu kelak akan diperlihatkan. Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna.” (an‐Najm: 39‐41)

Tuhan telah menganugerahkan bakat kepada kita dan usahalah yang membuat bakat itu menjadi kejeniusan.” (Anna Pavlova)

Pada tahun 1998, tim ahli dari Universitas Exter di Amerika pernah melakukan studi tentang kehidupan orang‐orang berprestasi di dunia ini dari berbagai bidang, seperti Mozart, Edison, Picasso, dan lain‐lain. Studi menghasilkan temuan berupa sebuah ajakan kepada ummat manusia di dunia ini untuk membuang mitos yang diyakininya. Apa itu mitos yang sering kita yakini? Kita sering meyakini mitos bahwa mereka‐mereka itu menjadi orang yang berhasil karena mereka diberi bakat oleh Tuhan yang tidak diberikan kepada kita.

“Jika seseorang memiliki bakat tetapi tidak digunakan maka ia telah gagal. Jika ia baru menggunakan setengahnya maka iapun gagal setengah. Jika seseorang memiliki bakat dan belajar dengan cara apapun bagaimana menggunakannya maka akan mencapai sukses.” (Thomas Wolfe)

Memang benar bahwa mereka akhirnya menjadi berhasil karena mereka punya bakat. Tetapi harus dicatat bahwa bukan hanya karena bakat itu mereka menjadi berhasil. Mereka berhasil karena ada bakat, karena ada dukungan, karena ada peluang, karena ada pendidikan atau pelatihan. Di atas dari semua ini, mereka berhasil karena mereka mempraktekkan, mengasah, atau melatih bakatnya dengan hasrat sejati, cinta sejati, atau pengabdian sejati. Mozart sendiri sebelum akhirnya dinobatkan sebagai maestro, ia mempraktekkan sesuatu selama kurang lebih enam belas tahun.

“Orang selalu berkata kepada saya bahwa bakat saya dan kejelian saya yang menjadi alasan kesuksesan saya. Mereka tidak pernah berkata tentang praktek, praktek, dan praktek yang saya jalankan.” 
(Ted Williams, 1918)

Kesimpulannya, semua manusia punya hasrat sejati yang berbeda‐beda, tidak harus musik, tidak harus di dunia usaha, dan lain‐lain. Tetapi juga ada satu rahasia Tuhan yang penting untuk dicatat bahwa memag ada sekelompok manusia yang sudah ditunjukkan adanya hasrat sejati itu sejak dini dan ada juga yang tidak atau perlu menggali seperti kita perlu menggali tambang emas. Apa alasan Tuhan, tentu kita tidak tahu. Mungkin Tuhan hanya bermaksud menyisakan tanda tanya kepada manusia tentang manusia dan dunia agar manusia tidak tahu seratus persen bagaimana Tuhan mengatur dunia ini.

Sumber : Pdf Be Your Self;  karya : AN. Ubaedy

0 komentar:

Post a Comment

ITJ