Apakah engkau tahu pandangannya tentang pernikahan?
“itu adalah sesuatu yang akan didatangkan Allah pada saat diperlukan.”
begitu sederhana, lebih tepat sebagai sikap pasrah. Oleh karena itulah saya bertanya, “tidak
merencanakan?Tidak memilih akhwat mana yang akan kau jadikan ibu dari anak-anakmu?”
Dia hanya tersenyum, “Allah akan mendatangkan berikut segala perangkat yang diperlukan hamba-Nya.”
saya selalu tertegun setiap melihat betapa kehanifan begitu nyata pada dirinya, begitu lurus, begitu tawaduk. Caranya memandang hidup selalu dengan mara yang berbinar-binar, kepercayaan yang tinggi bahwa Allah punya skenario yang jelas atas hidup seorang manusia.
Hanif nyaris tak pernah mengeluh. Saat ia begitu kesulitan mencari pekerjaan, ia tak perlu resah. Ia selalu bergerak dan itu yang diyakininya bahwa Allah yang akan mendatangkan rizki, dimana dan kapan pun manusia berada. Rezeki telah jelas alamatnya, tetap dan tepat, tidak akan berkurang sesuai yang telah dijatahkan, akan didatangkan sesuai dengan waktunya, serta sesuai dengan keperluannya.
Saya tak berlebihan menyebutnya tak pernah mengeluh. Selepas SMA, Hanif yang satu tingat diatas saya itu tak mau pergi merantau sebagaimana teman-temannya yang lain, mencari pekerjaan kekota.
“aku lebih bermanfaat di sini, Wie! Di kota sudah banyak ustadz, sudah banyak orang yang concern terhadap dakwah. Sementara di sini, siapa yang akan melakukannya? Lihatlah adik-adik TPA, siapa yang akan membimbing mereka jika semua pergi.”
Saya mengangguk-anggukan kepala. Saat itu saya tersindir karena saya adalah salah satu dari yang 'pergi'.
“bukahkan engkau juga perlu dunia , Mas?”
“Tentu saja. Tapi, apakah di sini tidak ada dunia?”
“Pekerjaan?Gaji Besar?”
“Di sini aku bekerja. Gaji besar?Kaupikir gajimu lebih besar dari gajiku?”
“Maksudku gaji dalam bentuk uang, Mas, bukan gaji di akhirat. Berdakwah memang perlu dan penting. Tapi jika aktivis dakwah tidak bekerja, dia akan menjadi beban orang tua, mungkin beban masyarakat.”
“Aku tidak akan menjadi beban orang tua, apalagi masyarakat”
* * *
“Jadilah pohon yang besar, menjadi sarang bagi burung-burung, menjadi tempat berteduh yang menenangkan, menjadi tempat bergantung, dan bahkan menampung resapan air untuk kemudian menjadi sumber mata air.”
saya selalu kagum dengan falsafahnya itu. Bukankah memang demikian yang dilakukan Hanif?
Hartanya memang tak seberapa, tepi berapa banyak orang yang bergantung padanya?Berapa banyak orang yang selalu menanti uluran tangannya?
Ia masih tetap ngontrak, satu kamar kecil di sebuah perkampungan sederhana. Ia bergitu dicintai oleh pemilik kontrakkan – yang beberapa tahun kemudian membebaskannya dari uang kontrak karena telah menganggapnya sebagai anak.
Hidupnya begitu sederhana – seperi umar – ia terbiasa makan hanya dengan kerupuk dan sambal. Namun, rumahnya nyaris tak pernah sepi pengunjung. Telah berapa banyak orang yang di tolongnya memperoleh pekerjaan. Sebagian bahkan menuai sukses menjadi hartawan. Telah berapa banyak orang diantarkannya meraih kesuksesan? Mereka yang pernah turun semangatnya kembali meruyak meneladani carnya memandang hidup dengan berbinar-binar.
“Jangan menjadi buah,” katanya. “Memang selalu buah yang dinanti orang, tetapi setelah dipetik, ia tak lagi bisa berbuat apa-apa.”
dia memang telah menjadi pohon rindang dan rranting tempat bergantung bermacam buah rabum.
Maka, sekali ini, saya kembali bertanya padanya tentang menikah sebab umurnya telah terbilang cukup. Bahkan, saya yang notabene adik kelasnya telah lebih dulu membina rumah tangga. Dia akan didatangkan pada saat yang tepat,” Jawabnya,tetap sederhana.
“Tapi bukankah Allah tidak mengubah nasib suatu kaum jika kaum itu tudak berusaha mengubahnya?Manusia tidak boleh sekedar menunggu. Ibadah adalah dalam bentuk ikhtiar itu dan menyerahkan hasilnya setelah berusaha dengan cukup.”
“usahaku adalah dengan memperbaiki diriku sebab yang selalu kuyakini adalah bahwa lelaki yang baik untuk wanita yang baik>”
“Dalam bentuk amal nyata engkau harus mencarinya.”
“Aku mencarinmya dengan dakwah. Jika suatu saat menikah, aku ingin menikah dengan alasan dakwah, bukan hanya karena aku tertarik kepada wanita itu.”
* * *
Memang begitulah adanya. Boleh jadi, saya tak sependapat dengan dirinya. Namun tak pelak, saya harus mengagumi caranya memahami konsep kanaah, menerima apa adanya. Baginya memang dakwah itu berada di atas segala-galanya.
mengetahuinya karena terlibat dalam proses itu. Tada ada syak sedikit pun bahwa Hanif akanTahun 1998, tersebutlah... seorang akhwat menyatakan keinginannya untuk dilamar hanif. Saya menolaknya sebab dengan alasan apa lagikah seoran gikhwan akan menolak wanita ini? Tak ada yang bisa dicela darinya. Pun, mengingat prinsip Hanif akan dakwah yang demikian, memparalelkan dengan aktivitas dakwah sang akhwat, sunggh sebuah sinergi dua kekuatan dakwah yang luar biasa.
Sayang, di akhir proses itu, Hanif menggeleng.
“Kenapa?” Tanya saya, lebih mewakili pertanyaan orang-orang yang mengetahui kelanjutan proses ini. Ya. Kenapa?
Hanif hanya sedikit memejamkan matanya. “Belum ada kecondongan itu. Belum ada kebulatan dalam hatiku sebagaimana azamku sebelumnya. Pun, dalam istikharah panjang, belum juga ada pertanda, apalagi kemantapan yang didatangkan-Nya.” Kecewalah saya. Kecewalah kami. Kecewalah semua. Namun, kami harus menghargai keputusan hanif.
* * *
Tahun 1999, setelah melewati diskusi panjang, Hanif memutuskan untuk pindah dari tempat kontrakannya. Kali ini, bukan lagi kota kami tempat ia berdiam. Saya masih rasakan pancaran semangat dakwah itu tak surut dari parasnya, dari setiap tindakan yang ia ambil.
Kali ini, alasan kepindahannya adalah proses 'murtadisasi' yang marak di kawasan pesisir selatan. Daerah bergunung-gunung, yang -menurut mitos- dikutuk dengan kekeringan. Entah, berapa ribu korban berjatuhan. Mereka yang menggadaikan iman demi satu atau dua tanki air bersih.
Ke sanalah kini Hanif menuju.
“Banyak yang ingin saya sampaikan dari Rasulullah, Wie,” katanya, “Sebab bukankah Rasul sering menghadapi kekeringan? Ada banyak teladan kisah dalam menyikapi kekeringan, cara menghemat air minum namun tidak samapai jorok dan mengabaikan kebersihan... Banyak sekali.”
saya menganggu sebab sebatas itulah saya bisa mendukung. Saya tidak berfikir apapun tentangnya selain bagaimana ia nanti akan mencukupi kehidupannya. Tinggal di sana, ia akan bekerja apa untuk menafkahi hidupnya?Berjualan makanan lagi seperti saat di sini, saya merasa tak yakin itu sebuah solusi cerdas sebab saya bisa menakar tingkat daya beli orang-orang pesisir ini.
Namun, kekhawatiran saya tak terbukti. Hanif jauh lebih cerdas dari saya yang saya sempat bayangkan. Dengan 'kemahirannya' memikat hati, ia bisa diterima masyarakat yang kini mayoritas bukan lagi beragama islam. Kepiawaiannya bergabung dengan kelompok mana pun membuat 'tenaganya' laku dan banyak yang menawar. Banyak pekerjaan-pekerjaan kecil yang diamanahkan kepadanya dan darinya ia memperoleh upah yang -kendati kecil- bisa dipakainya menutup semua pengeluaran.
Sama seperti sebelumnya, di sini ia ngontrak di sebuah rumash sederhana. Tak sampai menunggu tahun, ia telah dibebaskan dari uang kontrak sebab pemilik rumah telah menganggapnya sebagai anak sendiri.
Hal yang menakjubkan adalah... ketika sang pemilik rumah – yang semula adalah korban murtadisasi itu- menyatakan keinginannya untuk kembali pada islam. Lelaki sepuh itu bahkan di kemudian hari menjadi salah satu pembelanya. Ya, fitnah untuk Hanif merebak dan membuat orang-orang kampung meradang, naris menggelandangnya ke tanah lapang, laksana maling ayam yang ditangkap massa.
Saat itu, dengan tegar dan tangan terentang, sang lelaki sepuh berusaha menenangkan massa, menjadi saksi sekaligus pembela bahwa Hanif tidak melakukan apa yang mereka tuduhkan. Sebuah pembelaan yang mahal ia tebus, yakni kebencian orang-orang kampung.
Tibalah waktunya, kabar dari Hanif itu membuat saya terlengak.
“Menikah?”
“Ya. Bukankah aku telah cukup umur untuk menikah, Wie?”
“Tapi...” Tak sempat saya menyelesaikan kalimat. Saya melihat seoran gadis yang ia perkenalkan. Wanita inikah yang ia pilih?
Saya nyaris tak bisa menerima, lebih tepatnya kecewa. Seorang gadis dengan baju lengan pendek yang dipadu dengan celana jeans, tanpa penutup kepala, berdiri di sampingnya.
Sungguh, saya tak bisa menerima kalau keputusan ini yang diambil Hanif. Oleh karena itu saya memburunya ke tempatnya tinggal, menuntut pertanggungjawaban atas pilihan itu.
“Bukankah telah aku katakan, jika suatu saat aku memutuskan untuk menikah, aku ingin menikah karena dakwah, bukan karena aku tertarik dengan wanita tersebut.”
panjang lebarlah ia bercerita, tentang sang lelaki sepuh yang beberapa kali datang kepadanya, memintanya untuk menikahi salah seorang putrinya. Sebuah harapan yang luar biasa dari orang tua yang menginginkan hidayah kembali datang kepada anak-anaknya.
Awalnya saya menyangkal niat itu, dalam sebuah pertaruhan yang saya bilang konyol. Saya bilang konyol sebab tak ada jaminan apa pun wanita itu akan masuk islam dan berkafah di dalamnya.
“Banyaklah istri Rasulullah yang beliau nikahi dalam keadaan yahudi,” jawab Hanif. “Saya hanya ingin mengajakmu berpikir sebaliknya janganlah bertanya tentang apa yang akan saya dapatkan jika saya menikahinya. Namun, bertanyalah apa yang akan islam dapat jika saya tidak menikahinya.”
Allahu Rabbuna...!
memanglah seperti yang ia katakan. Akan sangat banyak akses yang terjadi jika ia menolak pinangan itu. Efek yang berpengaruh langsung pada Islam itu sendiri.
Ya, memang sekaranglah saat yang tepat baginya untuk menikah, dengan atau tanpa belitan masalah. Sebab baginya, dakwah adalah di atas segala-galanya.
Cikutra, 29 April 2004
Seraya mengingat seorang sahabat dekat.
Sumber : Melukis Cinta 2 (Syaamil, 2004)
0 komentar:
Post a Comment