Bahaya Utang

Ketika Utang Berbuah Perbudakan

Utang telah kami gunakan untuk menghancurkan negeri dengan kekayaan melimpah ini agar rusak sehancur-hancurnya. Utang telah menjadikan mereka, mengutip Publilius Syrus, pengarang roman, dari seorang merdeka sebagai budak. Debt is The slavery of The free. Tidak terkecuali, menjadi budak IMF , Bank Dunia dan lembaga donor lainnya.

Ketika krisis menyapu kawasan Asia Tenggara, mantan Presiden Soeharlo terpaksa membungkuk di hadapan Mitchel Camdessus. Soeharto, sang jenderal yang lebih dari 30 tahun berjaya, tiba-tiba tertunduk di hadapan komprador asing dan dipaksa untuk menandatangani letter of intents (LoI).

Alih-alih menyehatkan ekonomi Indonesia, Lol yang berisi segepok kebijakan yang dipaksakan IMF, lebih membuat suasana ekonomi bertambah panas. Kekacauan ekonomi pun merebak dan mulai merembet ke dunia perbankan. Banyak kredit perbankan macet alau non performing loan-nya (NPLs) menjadi tinggi. NPLs ini yang mengerutkan jumlah suplai uang beredar. Bank merespons dengan menyita kolateral dan menuntut pembayaran yang dipercepat dari nasabahnya.

Namun, apa daya, depresiasi mata uang yang begitu tajam telah membuat utang dari debitur baik individu, perusahaan, bahkan Negara bertambah tanpa mereka menaikkan agregat utang yang dipinjam. Solusi yang diberikan text book untuk situasi ini adalah dengan melakukan kebijakan expansionary monetary. Caranya sederhana, melalui tiga hal berikut: mendorong tabungan, mengurangi cadangan wajib (reserve requirement) dan meningkatkan suku bunga.

Dan ketiga hal ini, kami melalui IMF merekomendasikan yang ketiga. Ya, menaikan suku bunga. Atau lebih dikenal dengan kebijakan uang ketat (tight money policy). Argumentasi-nya, suku bunga tinggi maka dana-dana akan tersedot kembali dalam sistem perbankan. Tidak akan ada dana yang lari ke luar negeri karena sweeter bunga dalam negeri yang jauh lebih menarik. Dengan demikian, kepecayaan investor akan bisa dipulihkan.

Pemerintah Indonesia tidak punya pilihan. Ingat, sebagai "budak" ia harus menurut apa pun yang didiktekan sang tuan. Kamilah bangsa setan yang berada di belakang skenario kekacauan ini. Lalu terjadilah kebijakan yang sangat ganjil itu.

Perbankan menaikkan suku bunga deposito hingga 67 persen, sementara mereka hanya mendapatkan
bunga kredit sebesar 10 persen! Tersebarlah virus negative spread, akibat bunga yang diterima bank melalui peminjam jauh lebih kecil dari bunga yang harus dibayarkan bank kepada penabung / deposan. Karena kondisi ini, kemampuan bank untuk membayar pun jatuh. Liabilities (utang) mereka semakin meningkat, sementara modal mereka tergerus untuk menutup kerugian.

Bahkan, banyak diantaranya yang sampai kehabisan modal. Tak pelak banyak direksi perbankan yang berhenti. Namun di lain pihak, buat deposito nasabah terus berjalan dan tuntutan bunga terus membumbung. Kami berupaya keras agar utang bank-bank tersebut dialihkan dan dibebankan kepada pemerintah.

Karena khawatir uangnya hilang, para deposan ramai-ramai menarik simpanan di bank. Bank tak bisa memenuhi. Mereka melempar handuk. Lalu terbitlah kebijakan untuk menalangi bank-bank yang kolaps dengan apa yang disebut Bank Indonesia sebagai kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBl).

Ke dalam modal perbankan yang sudah negatif itu disuntikkan obligasi pemerintah. Bunga yang disebabkan penerbitan obligasi ini tentu ditanggung pemerintah. Kompensasinya. aset-aset produktif bank diambil alih oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Badan inilah yang kemudian melakukan restrukturisasi dan penjualan aset, tepatnya obral aset nasional. Strategi yang sangat menguntungkan bagi kolega-kolega manusia berjiwa setan dari negara lain.

Kenapa begitu? Sekali lagi, inilah akibat sebagai budak. IMF menghendaki penjualan aset nasional segera dilakukan. Siapa pembelinya?Tentu tidak jauh-jauh dari cukong yang menjadi tangan panjang IMF. Tak heran bila hasil menjual aset yang serba tergesa-gesa itu, hanya memberikan recovery rate yang rendah. Bahkan terendah di kawasan.

Malaysia yang tingkat utangnya lebih aman dari Indonesia lebih beruntung, mereka lebih loyal kepada prinsip Islam dan bisa mendongakkan kepala dan mengatakan "No to IMF". Bila IMF memaksa Indonesia melakukan kebijakan suku bunga tinggi, negara jiran itu lebih mandiri dan memilih kebijakan kedua: mengurangi cadangan wajib. Bila sebelum krisis cadangan wajib mereka mencapai 13 persen, pasca krisis cadangan wajib perbankan hanya empat persen.

Dengan cara itu, setiap simpanan RM 1.000, sektor perbankan bisa menggandakan uang hingga RM24.000 untuk membuat total simpanan menjadi RM25.000. Suplai uang memang membanjiri pasaran, tapi utang bunga tidak bertambah. Kami sangat terganggu dengan strategi bangsa Muslim ini.







Tahukah Anda?

Selain kebijakan uang ketat (tight money policy), IMF juga
menawarkan resep kebijakan fiskal (fiscal policy) kepada
pemerintah Indonesia. Kebijakan ini dimaksudkan untuk
mengurangi pengeluaran pemerintah. Pada saat yang sama,
meningkatkan pendapatan melalui pajak. Harapannya,
pemerintah bisa mengurangi budget deficit-nya sehingga
memulihkan kepercayaan investor. Namun kontraksi
anggaran yang diciptakannya menimbulkan shock
masyarakat karena banyak subsidi -seperti BBM -ditarik.
Rakyat yang dalam kondisi kesusahan semakin terhimpit.
Apalagi banyak diantaranya yang menganggur mendadak
karena terkena dampak rasionalisasi perusahaan. Mereka
pun marah. Inilah mungkin kebijakan yang makin
mengurangi kepercayaan mereka kepada pemerintah.
Gelombang demo besar-besaran akhirnya melibas dan
melengserkan Presiden Soeharto.

Dengan mengambil kebijakan ini, maka industri perbankan Malaysia kembali mempunyai darah untuk memberikan pinjaman kepada sektor riil yang sedang dalam proses menjadi korban. Sektor riil mampu menyerap dana pinjaman bank karena suku bunga yang ditawarkan rendah (tidak seperti kasus Indonesia). Namun, bukan berarti dana domestik bisa terbang ke luar negeri (capital out flow).
hal ini, pemerinlah Malaysia sangat cerdas, dengan melakukan kebijakan capital control. Kebijakan ini yang menghalangi dana bebas lari ke luar negeri. Mereka benar-benar merepotkan kami.

Ingat kisah Gaga dan Sago? Persis seperti itulah Indonesia. Ketidakmampuan membayar utang berakibat aset-aset negara diobral. Investor asing yang mendapat restu lMF pun panen. Tak hanya kehilangan aset-aset berharga. Karena utang, Indonesia juga kehilangan harkat dan martabat (dignity) sebagai negara berdaulat. Termasuk, tak berdaya menepis resep obat lMF yang ternyata justru menambah parah sakit ekonomi nasional.
Rakyat Indonesia pun bertambah miskin dan menderita.

Indonesia kembali membuktikan, betapa program kami yang brilian melalui Fiat Money dan interest, telah memberangus negeri kaya menjadi negeri para paria.

sumber : Satanic Finance; A. Riawan Amin

0 komentar:

Post a Comment

ITJ