Informasi Islam

Informasi Islam, ekonomi Islam

Islamic Economic

Islamic Bussines

Semangat yang tersia-siakan

KOMPAS.com - Perjalanan menuju Desa Cicaringin, Kecamatan Gunung Kencana, Kabupaten Lebak, Banten tinggal selangkah lagi. Mobil yang saya kendarai menyapu jalan tanah desa yang diperkeras dengan batu, tanjakan dan turunan berkelok, dan membelah perkebunan karet.

Semangat yang tersia-siakan


Suasana pedesaan begitu terasa saat memasuki Desa Cicaringin. Rumah-rumah panggung berdinding anyaman bambu menjadi pemandangan sebagian besar rumah warga. Desa yang berjarak sekitar 50 kilometer dari pusat Kota Serang boleh dibilang miskin infrastruktur.

Tak hanya akses jalan utama menuju desa ini rusak parah dan terkelupas aspalnya, namun sudah hampir lima bulan warga harus susah payah meniti kawat baja jembatan gantung yang menghubungkan Kampung Seberang Mustari dan Kampung Cicaringin untuk menyeberang Sungai Ciliman.

 Murid SDNegeri Cicaringin 3, Kecamatan Gunung Kencana, Lebak, Banten meniti kabel baja menyeberang Sungai CIliman saat pulang dari sekolah, Rabu (18/5/2011). Lambannya pemerintah membangun infrastruktur membuat mereka harus rela jalan sejauh 6 kilometer pergi-pulang untuk mencapai sekolah dan berisiko terjatuh ke sungai. 

perjuangan untuk pendidikan

 Murid SDNegeri Cicaringin 3, Kecamatan Gunung Kencana, Lebak, Banten saat berangkat ke sekolah, Rabu (18/5/2011). Lambannya pemerintah membangun infrastruktur membuat mereka harus rela berjalan kaki sejauh enam kilometer pergi pulang untuk mencapai sekolah. 
Foto: KOMPAS images / Kristianto Purnomo

Bagi anak-anak desa yang umumnya masih duduk di bangku sekolah dasar, menyeberang jembatan rusak akibat tersapu banjir bandang bukan tanpa rasa takut. Tanpa pelampung dan tali pengaman, satu persatu anak merayap melintasi tali baja yang membentang di atas sungai sepanjang 40 meter. Selangkah demi selangkah mereka bergerak maju. Sesekali mereka terlihat berhenti untuk menyeimbangkan diri saat tali baja seukuran ibu jari bergoyang kuat.

Sementara itu sepuluh meter di bawah mereka, air Sungai Ciliman mengalir deras. Saat Sungai Ciliman banjir, niat anak-anak pergi ke sekolah pupus, mereka memilih untuk tidak pergi sekolah.

"Kasian anak-anak, mereka harus menyeberang sungai dengan tali sling (kawat baja), belum lagi kalau sungai banjir mereka terpaksa tidak sekolah karena resikonya besar," ujar Sunta seorang tokoh masyarakat di Cicaringin.

Perjalanan mencapai sekolah di SD Negeri Cicaringin 3 semakin berat bagi anak seusia mereka. Pagi-pagi buta bocah-bacah yang sebagian besar anak buruh penyadap karet dan petani ini sudah bangun dan menempuh perjalanan kaki sejauh enam kilometer pergi pulang ke sekolah. Tak heran jika orang tua di desa ini mulai memasukkan anaknya ke sekolah dasar pada usia delapan tahun karena pertimbangan fisik untuk menempuh perjalanan jauh.

Bagi Ibandrio, Maimunah, Masitoh, Enah dan sekitar 10 temannya, berjalan kaki menuju sekolah telah menjadi sarapan sehari-hari. Meski sudah terbiasa, mereka mengaku perjalanan tersebut cukup menguras tenaga. Untuk mengusir rasa lelah, canda dan gelak tawa terdengar sepanjang perjalanan mereka.

 Ibandrio (kiri) dan Wika mengumpulkan pasir di tepi Sungai Ciliman, Desa Cicaringin, Kecamatan Gunung Kencana, Lebak, Banten, Selasa (17/5/2011). Bocah berusia antara 6 hingga 13 tahun di desa ini biasa mengumpulkan pasir selepas pulang sekolah. Dalam sehari mereka bisa mendapat upah berkisar Rp 8.000 hingga Rp 10.000.

Selepas sekolah, bukan berarti waktu luang anak-anak untuk bermain. Sebagian anak-anak di Cicaringin memilih mengumpulkan pasir sungai untuk dijual ke tetangga yang membutuhkan.

Satu ember pasir dihargai Rp 1.000, tak jarang mereka mendapatkan Rp 8.000 - Rp 10.000 dari hasil mengumpulkan pasir. Alasan mereka mendapatkan uang memang tak lain sekedar untuk jajan, namun cara mereka mendapatkan uang dan menjalani hidup untuk pendidikan tak sesederhana untuk anak seusia mereka.

identitas; Pertama dan Utama

Allah SWT berfirman,
     ''Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).'' (QS Al-An'aam, 6: 162-163).

identitas muslim, muslimah

     Perintah Allah itu memang awalnya pada Nabi Ibrahim AS.  Namun, itu juga tertuju pada kita ketika tertera dalam  kitab suci. Kita tidak cuma diperintahkan untuk tegas mengikrarkan diri dalam penyerahan total kepada Allah. Lebih darinya, kita juga diperintahkan berlomba-lomba menjadi orang-orang yang pertama, ada di barisan terdepan, dalam menyatakan diri sebagai Muslim. Tentu, bukan cuma di bibir, tapi dibuktikan dalam setiap detak  jantung dan detik kehidupan, di dalam aspek ibadah, akhlak, berpakaian, bertingkah laku, makanan dan minuman, berpolitik, berbisnis, dan sebagainya.
 
     Identitas itu pula yang dipakai Rasulullah SAW dalam surat-suratnya kepada penguasa terbesar di masa beliau,  Kaisar Romawi Heraklius. Dengan mengutip ayat-ayat  Alquran, Rasul menyeru salah satu kaisar terbesar  imperium itu kepada Islam. Bila menolak, maka,    ''Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang Muslim (yang berserah diri kepada Allah).'' (QS Ali Imran, 3: 64).

     Bayangkan, di hadapan kaisar, demi menghadapi negara  terkuat dan terluas di dunia saat itu, seorang kepala  negara seperti Rasulullah SAW tidak menyebutkan  identitas atau jatidiri yang lain, misal jabatan, latar  belakang, atau jumlah kekuatannya. Seolah-olah kita diajari untuk rendah hati, meski sebenarnya itu justrupengakuan kemuliaan, baik di dunia maupun akhirat.

     Sebab, seperti tertera dalam Sahih Muslim, sebagaimana  dituturkan Abu Sufyan yang menjadi saksi pembacaan surat  Nabi, bahwa kaisar sampai mengatakan, ''Bila beliau ada  di hadapanku, maka akan kucuci kakinya dan bersimpuh di hadapannya,'' sebagai respons pernyataan Nabi bahwa dirinya adalah Muslim. Itulah hati nurani seorang kaisar yang mau mengakui  kehinaan dirinya karena bukan Muslim, meski jutaan  rakyatnya memuliakan, bahkan bersujud padanya setiap  hari.

     Ironisnya, kini banyak orang malu dan takut  menyebut dirinya sebagai Muslim, baik itu rakyat jelata, wakil rakyat, pemimpin organisasi atau negara. Mereka khawatir dituduh sektarian, memecah belah  masyarakat, atau dikaitkan dengan teroris dan  semacamnya. Mereka jengah tidak dianggap bagian  masyarakat modern yang terpengaruh Barat, padahal  peradaban Barat banyak merujuk peradaban Romawi dan Yunani, di mana seseorang yang paling dimuliakan di sana hingga hari ini (Heraklius) telah menyatakan kehinaan dirinya karena bukan bagian dari kaum Muslimin.

     Kemusliman adalah identitas terawal, tertinggi, dan termulia. Dengan identitas itu kita dikenal dan   berinteraksi. Dengan itu pula kita menyikapi segala hal.  Bahkan, bagaimana kita diperlakukan ketika lahir dan  meninggal dunia, akan tergantung padanya.

  (Fahmi AP Pane )
http://www.republika.co.id
 29 Januari 2007

ITJ